Surat Terakhir ( Bagian 1 )
“
Kasihku taukah kamu? rembulan saat ini
sedang bersinar indah-indahnya. Angin malam menemaniku dalam keheningan.
menantikan dirimu. Deburan ombak membawaku entah kemana. Berlayar jauh dari
tempat kita tinggal. Sayangku tunggulah kepulanganku. Walaupun aku tidak tahu
apakah setelah pulang nanti tetap bisa bersama denganmu. Aku berharap dapat
menggenggam erat tanganmu dalam sunyinya malam dan indahnya pagi. Kasihku
nantikan kepulanganku.”
Rahman.
Tidak terasa air mata mulai membasahi kertas yang
dipegangnya. Rasa sesak menyelimuti hati, entah sudah keberapa kali ia
membacanya. Ia duduk terdiam dibalik sebuah jendela besar. Gundah, resah, dan
bayangan itu selalu memenuhi pikirannya. Seolah ia melihat sosok tegap dengan
seragam dan senapan perang datang menghampirinya dari kejauhan, yang samar
tertutup kabut.
“ Rahman..” gumamnya tanpa sadar.
Ia berdiri membuka jendela. Rumah ini tidak mengalami
perubahan yang berarti semenjak lelaki bernama Rahman itu meninggalkan rumah 50
tahun silam. Isak tangis yang menjadi - jadi kembali terdengar, tangannya
gemetar, ia sudah sangat rapuh, menantikan sosok yang dikasihinya lebih dari 50
tahun itu.
“Nenek..” Seorang gadis kecil menghampiri tubuh rapuh
yang sedang terisak dan masih menatap nanar keluar jendela.
***

Hari itu langit kelabu, ditemani bunyi tembakan yang
membabi buta dilepaskan kesegala penjuru. Di dalam sebuah rumah yang cukup luas,
seorang wanita yang tengah hamil besar duduk
meringkuk dibawah meja. Wajahnya pucat, bibirnya gemerutuk, tanganya
dengan kuat menggenggam kain batik yang dikenakan sebagai bawahan.
Kainnya mulai basah oleh keringat, perutnya sangat
sakit sekali. Anaknya seakan-akan sedang mendobrak hendak keluar. Jantungnya
berdegup makin kencang tak beraturan.
“ Ana kamu tidak apa-apa?” Seorang pria bertubuh
tegap, berpakaian seragam dan memegang senapan bertanya, sambil membungkukan
tubuhnya melihat ke bawah meja tempat wanita hamil itu bersembunyi.
“ Aku takut, sungguh tolong bawa aku pergi dari tempat
ini” suaranya gemetar, air mata mulai membasahi pipinya.
“ Tidak, kamu lebih aman disini Ana, jangan keluar ”
Dor,Dor,Dor,Dor…
suara tembakan makin menjadi-jadi, terikan-teriakan memekik terdengar
dari luar rumah.
***
Hampir 5 jam meringkuk di bawah meja, perunyat sudah
tidak terasa sakit lagi. Rupanya beberapa jam yang lalu ia tidak sadarkan diri.
Tetapi tiba – tiba saja Kontraksi terjadi, perutnya terasa sakit. Sedangkan
keadaan di luar rumah sudah mulai tenang tidak ada suara, hanya hening dan
sunyi.
“ Arghhh” pekikannya tertahan, tidak mau sampai ada
yang mendengar suaranya. Sepertinya ia akan melahirkan. Namun tidak ada seorang
pun yang berada di dalam rumah. Suaminya entah pergi kemana dengan membawa
senapan.
Ya, saat itu memang sedang terjadi kerusuhan. Perang
di mana-mana. Bahkan desa kecil seperti tempat ia tinggalpun juga terjadi perang.
Bukan perang melawan penjajahan saja tapi juga perang saudara, memperebutkan
lahan yang ada.
Gubrak..
Suara pintu dibuka dengan kencang, Membuat ia terkejut.
“ Ana kau dimana?” Suara perempuan terdengar sedang
mencari-cari di dalam rumah yang luas itu
“Ana ini aku Sarah, Ana kamu baik-baik saja ?”
Mendengar bahwa yang memanggil adalah sahabatnya Sarah,
Ana langsung keluar dari bawah meja. Tangannya memegang perutnya yang besar.
“ Ana kakimu berdarah” teriak sarah panik saat melihat
darah segar.
***
Selang 2 jam kemudian Ana melahirkan secara darurat,
hanya dengan bantuan Sarah dan peralatan seadanya.
Seorang bayi perempuan cantik lahir di malam yang
sunyi dan mencekam, tanpa seorang ayah yang menyambutnya.
“ Di mana suamiku?” Tanya Ana pada Sarah.
“ Suamimu ada..”
“ Di mana?”
“ Nanti kau akan tau”
Tangisan bayi itu membuat suasana kembali hangat. Dalam diam, bahagia, dan sedih menyelimuti
hatinya. Ana hanya ingin suaminya datang menemaninya.
Tok..Tok..Tokk
“ Ana.. ada kiriman dari suamimu” Seseorang datang membawakan sebuah kantung kain berwarna
coklat.
“ Dimana dia ?” Perasaannya jadi tidak menentu.
Perlahan Ana membuka kantung itu, sebuah kalung dengan liontin bulat terjatuh
dari dalam kantung.
“ Ini kalung Rahman, dia di mana?” Tanya Ana berulang-ulang
“ Tenanglah Ana, Suamimu baik-baik saja” bisik Sarah
sambil menenangkan sahabatnya.
Sejak malam itu Ana menantikan kedatangan suaminya
yang pergi begitu saja, dan hanya mengirimkan surat-surat untuknya. Tanpa ia
tau dimana dia berada.
***
Hampir setiap hari Ana bertanya kepada semua orang
yang mengenal suaminya, apakah mereka melihatnya. Jawabanya tetap sama, tidak
ada yang melihatnya. Tetapi surat-surat itu tetap sampai. Surat itu rutin
datang sebulan sekali.
Hingga anak mereka berusia 5 tahun, Rahman masih belum
pulang kerumah. Sempat ia putus asa. Namun kembali surat-surat itu membuat hatinya tegar,
menanti dan terus menanti kehadiran sang suami.
“ Ana ini surat dari Rahman” seseorang kembali
mengantarkan surat.
“ Dimana kamu bertemu suamiku?” Tanya Ana penasaran.
“ Aku tidak bertemu dengannya secara langsung, ada
seseorang juga yang memberikannya padaku”
“ Siapa orang itu?” pertanyaan terus menerus
dilontarkannya.
“ Aku tidak begitu yakin, orangnya berbeda-beda”
lanjut sang kurir surat.
Selalu saja begitu, terus membuatnya lelah, menunggu
tanpa tau dimana suaminya sebenarnya. Bagaimana bisa ia mengirimkan surat tanpa
berniat untuk pulang dan melihat anak sematawayangnya ( pikir Ana ).
***
Setiap hari tanpa lelah Ana bekerja untuk membiayai
kehidupannya bersama sang Anak. Dulu sebelum suaminya pergi, kehidupan Ana
sangatlah menyenangkan. Ia tidak harus bekerja keras membiayai hidupnya. Namun
setelah kepergian suaminya, ia harus bekerja di ladang sendirian melawan teriknya
matahari, hingga menjual hasil ladangnya di pasar. Membawanya bersama putrinya,
yang ia gendong di punggung dan dagangannya dijunjug di atas kepala.
Sebenarnya bisa saja ia menikah lagi, karena usianya
masih cukup muda, toh ia baru memilki satu anak. Ditambah lagi parasnya yang
cantik, tidak sedikit pria yang berniat untuk menikahinya. Tapi hatinya masih
yakin jika suatu hari nanti Rahman, suaminya tercinta akan pulang dan berkumpul
lagi bersamanya.
Bertahun-tahun ia menunggu. Membesarkan putrinya
seorang diri, masih dengan keyakinan yang sama, bahwa suaminya akan kembali.
Ketika usia putrinya menginjak 10 tahun, suaminya
berhenti mengirimkan surat.
Bersambung ...
Komentar
Posting Komentar