Surat Terakhir ( Bagian 2 )


*
         Dibalik penantian tak berujung, ada rahasia terpendam. kali ini izinkan Rahman untuk bercerita.
           
          Penantian Ana
“ Nek, nenek tidak apa-apa” tangan mungil itu membelai lembut tangan Ana yang sudah mengeriput.
“ Iya sayang ”
Keberadaan suaminya masih menjadi misteri, bahkan ia masih menunggu, dan menunggu. Ia tiadak mau menerima kenyataan pahit yang sudah ia ketahui 20 tahun terakhir. Ketika Sarah sahabatnya  memberikan sepucuk kertas kepadanya. Yaitu surat terakhir dari Rahman.
Ana masih terperangkap dengan kesedihan dan pengharapannya, entah sampai kapan. Mungkin hingga akhir hayatnya. Kesetiaannya tidak pernah luntur walaupun harus beribu-ribu kali meyakinkan diri.
***
  
*               Rahasia Rahman
Perang sedang beralangsung di desa, hampir semua warga tersulut emosi. Lahan yang sudah mereka miliki bertahun-tahun ingin dikuasai oleh orang asaing, celakanya yang menjadi makelar justru berasal dari kalangan mereka sendiri. Desa yang tidak terlalu luas itu ditempati oleh keluarga yang saling berhubungan darah, dan memilki ikatan kekerabatan. Perang saudara tidak bisa terelakan lagi.
“ Betapa bodohnya kita, diadu oleh orang asing untuk bertarung dengan saudara kita sendiri” teriak salah seorang warga ditengah kerumunan yang sedang gaduh.
Rahman bergegas keluar dari kamar dan membawa istrinya yang tengah hamil 9 bulan. Mendengar suara gaduh diluar rumah, bunyi tembakan yang terdengar membabi buta membuatnya tak tahan. Dengan cepat ia menyuruh istrinya berlindung dibawah meja yang terbuat dari kayu jati yang kokoh.
Ia mencoba menenangkan istrinya yang tengah hamil. Namun tampaknya tidak begitu membantu. Rahman memutuskan untuk keluar rumah mencoba menenagkan keadaan. Namun malang, timah panas menembus kakinya. Seketika ia tersungkur, tidak tau siapa yang menembak.
Rahman memang dikenal sebagai pemuda yang nasionalis, dan sangat berpendirian kuat. Ia tidak gentar walaupun sebelah kakinya sudah tertembak. Parahnya, orang Asing yang menginginkan lahan sudah menyiapkan serdadu-serdadu untuk mengusir warga.
Rahman pun ditangkap, diikat dan dibawa menggunakan kapal, entah kemana. Berhari-hari terombang-ambing di atas kapal diletakan di sebuah ruangan yang pengap bersama dengan beberapa orang yang bernasib sama sepertinya. Kakinya yang tertembak mulai membusuk, bahkan beberapa orang diantara mereka sudah mati karena tak tahan menahan rasa sakit dan lapar.
Rahman cukup kuat dan tangguh, hingga si penjaga luluh hatinya.
“ Kau, tulislah surat untuk keluargamu” kata si penjaga memberikan 2 lembar kertas dan tinta kepadanya.
“ Apakah surat ini akan benar-benar sampai pada keluargaku?” tanyanya sedikit ragu.
“ ya..”
Rahman pun menulis surat. Satu ditujukan kepada istrinya, dan yang satu ditujukan kepada Abdul, suami Sarah yang merupakan sahabat dari istrinya.

“ Untuk Sarah dan Abdul, tolong jaga Ana. Jangan biarkan dia bersedih. Buatkan surat untuknya, karena aku hanya bisa mengirimkanya 1 surat saja. Katakan bahwa aku baik-baik saja. Berikan suratku sebagai surat terakhir untuknya”
Rahman.

Tamat






Komentar

  1. Ditunggu kelanjutan ceritaaa😉

    BalasHapus
  2. Terima kasih sudah baca cerpennya

    BalasHapus
  3. Ceritanya flashback alurnya bikin penasaran

    BalasHapus
  4. Terima kasih sudah membaca cerpennya. Jangan bosan mampir dan baca lagi ya :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenal Perilaku “Social Climber”

Surat Terakhir ( Bagian 1 )